Rejang Sutri adalah nama tarian yang yang
terdapat di daerah Gianyar tepatnya di Desa Pakraman Batuan, Sukawati, Gianyar
yang oleh masyarakat Batuan sangat di sakralkan keberadaanya.
Rejang Sutri ditarikan oleh penari perempuan baik dari usia anak-anak, muda
maupun tua. Dari sekian banyak tari rejang sakral yang ada di Bali, Rejang
Sutri di desa Batuan memiliki keunikan atau gaya tersendiri yaitu mulaidi
tarikan/ ngawit
masolah menurutsasih penanggalan kalender Bali yaitusasih / bulan kelima ( lima) dengan mencari hari/rerahinan kliwon, kajeng
kliwon, purnamaataupun tilem sesuai pawisik yang diterima oleh pemangku Desa
Batuan, dengan mempersembahkan beberapa sarana upacara dan upakara. Kalau
diperkirakan mulai sekitar bulan Nopember sampai bulan Maret (tahun berikutnya
), dan berakhir atau nyineb/ngeluhurpada saat sasih kasanga bertepatan dengan upacara malam Ngembak
Geni sehari setelah Hari Raya Nyepi yang merupakan
hari perayaan tahun baru Saka Agama Hindu. Jadi sekitar empat bulan kalender
masehi, ini dilaksanakan setiap hari dengan cara bergiliran dari delapan banjarpangempon yaitu Banjar Puaya, Banjar Jeleka, Banjar
Tengah, Banjar Pekandelan, Banjar Dentiyis, Banjar Delodtunon, Banjar
Peninjoan, Banjar Jungut dan satu tempekan/ kelompok Tri Wangsa. Sebagai tarian Rejang yang
disakralkan sudah barang tentu terkandung makna filosofis yang sangat kental.
Untuk mengetahui sejarah timbulnya tari Rejang Sutri di desa Batuan sangatlah
sulit, karena tidak adanya catatan-catatan, literatur, buku-buku yang
menyebutkan tentang tari Rejang Sutri ini. Hanya keterangan secara lisan yang
secara turun temurun telah dipercaya oleh masyarakat Batuan. Keterangan itu
adalah berawal dari kekalahan Ratu Gede Mecaling (menguasai ilmu hitam )
atas I Dewa Babi mengakibatkan terciptanya tarian Rejang Sutri tersebut.
Kejadian tersebut kira-kira terjadi pada abad ke 17 (1658 Masehi), saat
kerajaan Sukawati dipegang oleh Ida Sri Aji Maha Sirikan yang bergelar I Dewa
Agung Anom dan nama lainnya Sri Wijaya Tanu.
Masyarakat Batuan percaya dengan keberadaan
Ratu I Gede Mecaling dari Nusa Penida yang sekiranya sewaktu-waktu akan
mengganggu ketentraman masyarakat desa Batuan. Dimana legenda/ mitos,
kepercayaan ini telah dipercaya secara turun temurun dan telah berakar di hati
masyarakat Batuan umumnya. Kepercayaan terhadap seorang tokoh I Gede Mecaling
yang sangat sakti, tinggal di tegallinggah banjar Jungut Batuan melawan I Dewa
Babi, kekalahan itu mengakibatkan I Gede Mecaling terusir dari Batuan dan
akhirnya tinggal di Jungut Batu Nusa Penida Kabupataen Klungkung. Kekalahan
tersebut membuat beliau murka dan ingin membalas dendam kepada keturunan I Dewa
Babi, masyarakat Batuan serta siapa saja yang berani datang ke Nusa Penida akan
mendapatkan celaka. Untuk mengalihkan kemarahan Gede Mecaling beserta
pengikutnya akhirnya terciptalah tarian Rejang Sutri tersebut. Namun pada
masa sekarang ini beberapa orang masyarakat batuan sudah sering melakukan
persembahyangan ke Pura Dalem Peed Nusa Penida tempat berstananya Ratu Gede
Mecaling, tetapi tidak terjadi apa-apa, dan mudah-mudahan beliau melupakan
kejadian masa lalu dan memberikan keselamatan kepada kehidupan kita. Bahkan
suatu kepercayaan bahwa pada mulai sasih
kelima ( sekitar bulan Nopember) sampai sasih
kesanga ( bulan Maret) tahun berikutnya dikenal masa
berjangkitnya bermacam-macam penyakit ( wabah) dan dirasakan sebagai saat-saat
sangat genting, kepercayaan masyarakat Desa Batuan saat inilah I Gede Mecaling
sedang berkelana di Bali untuk mencari labaan ( tumbal ) dan menyebar gering/ penyakit. Maka, khususnya di Batuan menggelar
pertunjukan Rejang Sutri untuk meminimalisir pengaruh negatif saat bulan-bulan
tersebut.
0 Comments